Risiko peralihan energi berdampak negatif terhadap perekonomian dalam jangka pendek berupa kenaikan harga. Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan pemerintah berkomitmen mendorong transisi energi untuk meminimalisir dampak perubahan iklim.
Sri Mulyani mengatakan, upaya mendorong transisi menuju ekonomi hijau tidaklah mudah karena akan berimplikasi besar pada sumber daya. Ia menyebut banyak tantangan dalam mendorong transisi ini, terutama untuk sektor energi.
“Karena transisi ini sendiri dapat menyebabkan dislokasi dan terkadang juga dapat menyebabkan peningkatan biaya hidup masyarakat, terutama pada tahap paling awal dari transisi tersebut,” ujar Sri Mulyani di HSBC 2022 Empowering Transition to Net Zero Puncak. , Rabu (14/9).
Risiko kenaikan biaya hidup semakin menantang karena perekonomian dunia saat ini juga menghadapi tantangan inflasi yang tinggi. Harga konsumen melonjak di banyak negara, di Indonesia inflasi telah melampaui batas pagu target bank sentral sebesar 4%.
Potensi kenaikan biaya hidup yang dipicu oleh transisi energi juga muncul di tengah proses pemulihan ekonomi yang masih sangat rapuh dan belum pulih dari wabah. “Ini akan menimbulkan pilihan politik yang tidak mudah dipilih oleh negara mana pun,” kata Sri Mulyani.
Dilema ini juga melanda pemerintah Indonesia. Dia mengatakan pemerintah mungkin perlu lebih banyak diskusi untuk menentukan desain kebijakan mana yang akan dipilih.
Namun demikian, pemerintah juga tetap berkomitmen untuk mendorong net zero target melalui proses transisi energi. Pemerintah merilis Mekanisme Transisi Energi (ETM) bersamaan dengan pertemuan G20 tahun ini.
Tantangannya bukan hanya risiko terhadap perekonomian tetapi juga implikasi terhadap sumber pendanaan. Sri Mulyani mengalokasikan rata-rata Rp 89,6 triliun per tahun untuk anggaran perubahan iklim, atau sekitar 3,6% dari total belanja pemerintah.
Indonesia diperkirakan membutuhkan anggaran sebesar Rp 3.461 triliun untuk mitigasi dan adaptasi iklim, atau diperkirakan Rp 266 triliun per tahun. Dengan demikian, alokasi anggaran negara setiap tahunnya masih jauh dari jumlah anggaran yang dibutuhkan.
“Untuk mencapai implementasi jangka panjang yang ambisius dari ketahanan karbon dan iklim, kita pasti membutuhkan dukungan semua orang. Ini sangat tergantung pada dukungan semua pemangku kepentingan dan tidak bisa hanya mengandalkan sumber daya pemerintah sendiri,” kata Sri Mulyani.
Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk mengatasi perubahan iklim dengan mengurangi emisi melalui Perjanjian Paris. Dalam komitmennya, emisi karbon ditargetkan turun 29% dengan upaya sendiri pada 2030, dan turun 41% dengan dukungan internasional.
Singapura adalah negara terdepan di Asia Tenggara dalam transisi energi dari sumber fosil ke sumber terbarukan. Dalam laporan World Economic Forum (WEF), Singapura memiliki indeks transisi energi hingga 67 poin, menempatkannya di urutan pertama Asia Tenggara atau 21 dari 115 negara di dunia.
Berada di urutan keenam di Asia Tenggara atau ke-71 secara global dengan 56 poin. Berikut adalah bagan Databoks: