Pemerintah terus berupaya menerapkan mekanisme perdagangan karbon di Indonesia. Setelah ditetapkan di beberapa pembangkit listrik, rumusan batas intensitas emisi akan segera dirumuskan di kilang minyak.
Direktur Teknik Elektro dan Lingkungan Kementerian ESDM Wanhar mengatakan, mekanisme perdagangan karbon sektor energi selanjutnya akan digunakan untuk industri migas dengan skema carbon cap and trade yang sama.
“Stempel kilang minyak dan gas itu harus kita tentukan nanti. Nanti teman-teman di Ditjen Migas akan membahas dan menyetujuinya di Kementerian ESDM untuk ditetapkan oleh Menteri ESDM,” ujarnya di Indonesia Carbon Forum, Rabu (1/ 12).
Menurut dia, saat ini pihaknya terus melakukan pembahasan intensif untuk menentukan skema cap and trade agar bisa diterapkan dengan baik. Setelah migas, kemungkinan selanjutnya yang akan diatur adalah sektor transportasi. “Transportasi nanti naik, tapi saya belum bisa kasih tahu. Tapi setelah PLTU, sektor migas,” ujarnya.
Seperti diketahui, industri hulu migas merupakan salah satu penghasil emisi karbon (CO2) yang tinggi. Untuk mengurangi tingkat emisi agar sesuai dengan target dekarbonisasi sektor energi, teknologi karbon CCUS (penangkapan, penggunaan, dan penyimpanan) atau penangkapan dan penyimpanan karbon harus digunakan.
SKK Migas juga mendorong penerapan teknologi CCUS di industri hulu migas. Meski pelaksanaannya masih menunggu peraturan definitif tentang perdagangan karbon untuk sektor tersebut.
“CO2 harus ditangkap. Kementerian Keuangan dan KLHK duduk bersama merumuskan kebijakan penetapan regulasi carbon pricing,” kata Wakil Kepala SKK Migas Fatar Yani Abdurrahman dalam diskusi virtual, Rabu (28/7). .
Ia menambahkan, dekarbonisasi menjadi salah satu tantangan bagi sektor hulu migas selain transisi energi yang dapat berdampak pada kegiatan komersialisasi dan produksi. “Bagaimana industri migas menyeimbangkan target emisi karbon dan target produksi untuk memenuhi persyaratan dekarbonisasi,” ujarnya.
Namun, ini tidak mudah. Pasalnya, 60% lapangan migas di Indonesia merupakan lapangan tua dengan biaya operasi tinggi. Menurut data SKK Migas, beberapa lapangan migas menghasilkan emisi karbon yang relatif tinggi.
Lapangan tersebut antara lain Padang Kuala Langsa yang dioperasikan oleh Medco E&P yang menghasilkan 81% emisi CO2, Natuna Timur-Pertamina (80%), Jambi Selatan-ConocoPhillips (60%), Arung Nowera-Medco E&P (60%), Lapangan Singa- Medco E&P (38%), dan Lapangan Jambaran Tiung Biru (JTB)-Pertamina EP (35%).