Think tank global EMBER menyatakan pangsa energi baru terbarukan global atau EBT pada akhir 2022 akan meningkat menjadi 39%, melampaui batu bara yang sebesar 36%. Hal ini terutama didorong oleh pertumbuhan tenaga surya dan angin yang mencapai 12% dari total pasokan listrik dunia, naik dari 10% pada tahun 2021.
“Kita berada dalam dekade yang menentukan masa depan iklim, dan ini adalah titik awal berakhirnya era bahan bakar fosil. Kita bergerak menuju era energi bersih,” kata Małgorzata Wiatros-Motyka, penulis dari Laporan EMBER Global Electricity Review 2023, dalam keterangan tertulis, Rabu (12/4).
Merujuk pada laporan tersebut, pembangkit energi surya akan tumbuh sebesar 24% atau setara dengan tambahan 245 kWh pada tahun 2022. Sedangkan tenaga angin akan meningkat sebesar 17% atau 312 TWh. Peningkatan kapasitas pembangkit tenaga surya dan angin dapat memenuhi 80% kebutuhan listrik global.
Kenaikan pembangkit EBT juga membatasi pertumbuhan listrik batubara menjadi hanya 1,1% atau setara dengan 108 TWh. Di sisi lain, pembangkit listrik tenaga gas turun 0,2% atau 12,3 TWh.
Laporan tersebut juga mengindikasikan bahwa tahun lalu bisa menjadi puncak emisi listrik dan tahun terakhir pertumbuhan listrik yang ditenagai oleh bahan bakar fosil. Pada tahun 2023, energi bersih diharapkan dapat memenuhi semua permintaan listrik yang meningkat.
Dengan demikian, pembangkit listrik bahan bakar fosil akan sedikit berkurang (-0,3%) pada tahun 2023, dan terus menurun pada tahun-tahun berikutnya seiring dengan peningkatan tenaga angin dan matahari.
“Tenaga angin dan matahari siap untuk terus berkembang pesat menjadi sumber listrik terbesar. Listrik bersih akan membentuk kembali ekonomi global, mulai dari sektor transportasi, industri, dan seterusnya,” kata Wiatros-Motyka.
Era baru pengurangan emisi bahan bakar fosil berarti penghentian pembangkit listrik berbahan bakar batu bara sudah dekat, dan akhir listrik berbasis gas sudah di depan mata. Perubahan datang dengan cepat. “Namun, semuanya bergantung pada langkah yang diambil pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat saat ini untuk memimpin dunia menuju pasokan listrik bersih pada 2040,” imbuhnya.
Mengacu pada model yang disusun oleh International Energy Agency (IEA), sektor ketenagalistrikan harus bergerak dari sektor penghasil emisi tertinggi menjadi sektor pertama untuk mencapai netralitas karbon pada tahun 2040, untuk mencapai ekonomi netral karbon pada tahun 2050. Artinya angin dan surya harus mencapai 41% dari total listrik global pada tahun 2030.
Indonesia dirugikan
Sementara itu, Laporan EMBER menunjukkan pangsa energi angin dan matahari di Indonesia masing-masing hanya akan menjadi 0,1% pada tahun 2021. Padahal, sudah ada 60 negara yang 10% dari total pembangkit listriknya dihasilkan oleh angin dan matahari.
Pertumbuhan energi surya Indonesia pada 2021 akan mencapai 12%, namun angka ini hanya setara dengan 0,02 TWh karena pembangkitan energi surya masih rendah. Sedangkan tenaga angin turun sebesar 6,4% atau 0,03 TWh. Pada saat yang sama, pembangkit listrik dari batubara di Indonesia meningkat sebesar 5% (9,1 TWh) dan gas sebesar 9,7% (5 TWh).
Wiatros-Motyka mengatakan bahwa meskipun kemajuan pengembangan EBT di Indonesia lambat dalam beberapa tahun terakhir, dukungan internasional telah menyediakan dana yang diperlukan untuk mempercepat adopsi EBT dan menghentikan pembangkit listrik berbasis batubara di Indonesia.
Beberapa di antaranya adalah Mekanisme Transisi Energi Bank Pembangunan Asia dan Kemitraan Transisi Energi yang Adil. “Dengan bantuan ini, saatnya Indonesia menunjukkan komitmennya dan mengambil langkah untuk mencapai puncak emisi pada tahun 2030 serta mewujudkan ambisi energi terbarukan,” ujarnya.
Chief Executive Officer Landskap Indonesia, Agus Sari, mengungkapkan sistem kelistrikan berbasis bahan bakar fosil menghadapi risiko terbengkalainya aset dalam skala besar.
“Energi bersih jauh lebih murah dan lebih stabil. Dengan krisis iklim saat ini, transisi energi menjadi sebuah keniscayaan. Mereka yang tidak berpartisipasi dalam transisi akan semakin tertinggal,” katanya.
Analisis EMBER menunjukkan bahwa komitmen JETP untuk membatasi emisi sektor ketenagalistrikan hingga 290 juta ton CO2 konsisten dengan Skenario Ikrar Pengumuman yang disiapkan oleh IEA dan sejalan dengan target pemerintah untuk mencapai emisi netral karbon di semua sektor pada tahun 2060. Namun, batasan ini masih di bawah jalur netral karbon yang ditetapkan oleh pihak yang lebih ambisius dari IEA.