Kementerian ESDM bersama PLN terus mempercepat transisi energi di sektor pembangkit listrik dengan mengembangkan teknologi pembangkit listrik tenaga batubara (PLTU) sekaligus mengembangkan pembangkit energi terbarukan.
Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, selama ini pemerintah masih menggunakan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara sebagai penghasil listrik terbesar di Tanah Air.
Oleh karena itu, kata Dadan, praktik beralih dari mengandalkan pembangkit energi fosil perlu dilakukan secara bertahap sambil membangun kesiapan infrastruktur dalam menyediakan sumber listrik dari energi terbarukan.
Produksi emisi gas rumah kaca dari sektor energi pada tahun 2030 diproyeksikan mencapai 1.668 juta ton CO2 jika mengacu pada kebiasaan normal atau Business as Usual (BaU).
Sambil menunggu kesiapan operasional beberapa pembangkit listrik dari energi terbarukan, Kementerian ESDM bersama PLN juga mengimplementasikan teknologi terkini di sektor pembangkit batubara melalui peremajaan boiler dalam mengolah batubara.
Teknologi yang dimaksud adalah ketahanan boiler terhadap temperatur tinggi dan kemampuannya mengolah batu bara. Semakin mutakhir teknologi yang dipasang di boiler, semakin baik daya tahan dan kemampuan PLTU mengolah batu bara berkalori rendah dan ramah lingkungan.
“Dari teknologi yang kami gunakan dalam hal ini, misalnya pembangkit listrik batubara supercritical yang dapat mengurangi emisi gas rumah kaca karena teknologi ini jauh lebih efisien,” ujarnya dalam agenda Paviliun Indonesia di COP27 bertajuk Decarbonizing Energy Sector for Net Zero: Prestasi, Progres, dan Tantangan pada Senin (7/11).
Dadan melanjutkan, pihaknya bersama PLN juga secara bertahap mengubah pembangkit listrik berbahan bakar fosil menjadi gas yang dinilai lebih rendah emisi.
Konversi ini akan dilaksanakan secara besar-besaran pada tahun 2025 dengan menargetkan 5.200 PLTD yang saat ini beroperasi di 2.130 titik terutama di daerah terpencil. Pada fase 1, akan ada phase-out bertahap dengan mekanisme campuran atau hybrid.
“Kami juga berupaya memasukkan lebih banyak gas ke dalam pengoperasian pembangkit listrik. Selain pembangkit listrik, konversi ini juga kami upayakan di sektor transportasi dan sektor industri,” kata Dadan.
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, langkah yang dilakukan perseroan untuk mengurangi emisi gas buang dari operasional PLTU adalah dengan mengurangi penggunaan batu bara dan menggantinya dengan biomassa sebagai bahan bakar atau co-firing.
Skema ini sudah diterapkan di 33 dari 48 PLTU yang diuji. PLN terus mengoptimalkan aplikasi co-firing hingga mencapai kapasitas 1,8 gigawatt.
Dari target 52 lokasi tahap pelaksanaan pada tahun 2025, pelaksanaan co-firing sejauh ini telah menggunakan 175 ribu ton biomassa yang telah menghasilkan produksi listrik sebesar 185 GWh dan pengurangan 184 ribu ton CO2.
Limbah kelapa sawit dianggap sebagai pengganti batu bara yang relatif baik karena memiliki nilai kalor yang tinggi dan kandungan sulfur yang lebih rendah sehingga emisi yang dihasilkan berkurang. Hasil pembakaran cangkang sawit disebut juga rendah abu sehingga lebih baik dampaknya bagi lingkungan.
“Kita akselerasi, kita gencar percepatan pengembangan energi terbarukan. Kita juga pakai energi biomassa. Kita juga mengganti teknologi batu bara kita yang lama dengan teknologi yang jauh lebih efisien,” kata Darmawan.
Di sisi lain, Darmawan mengatakan kebutuhan energi bersih semakin meningkat seiring dengan tren transisi energi yang semakin meningkat, terutama permintaan di sektor industri manufaktur. Apalagi Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang besar dan mampu memenuhi kebutuhan pasokan energi bersih.
“PLN harus menciptakan lebih banyak ruang untuk energi terbarukan,” katanya.
Meski modal yang dikeluarkan untuk pengembangan energi terbarukan cukup mahal, Darmawan optimistis investasi perseroan saat ini akan membawa keuntungan di masa depan karena harga listrik dari energi terbarukan semakin mampu bersaing dengan listrik fosil.
“Harga energi terbarukan turun tahun demi tahun, bulan demi bulan, minggu demi minggu, hari demi hari. Saat kami melelang energi surya pada 2015, harganya US$0,27. Saat kami melelang energi surya beberapa bulan yang lalu, itu hanya 4 sen,” kata Darmawan.