PT PLN membuka opsi perpanjangan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030. Opsi ini muncul setelah selesainya Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) untuk program pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP) pada 16 Agustus 2023.
Direktur Keuangan PLN Sinthya Roesly mengatakan, dokumen CIPP akan menjadi bahan pertimbangan perseroan untuk merevisi RUPTL. Kajian tersebut diharapkan sejalan dengan pesatnya pembangunan pembangkit listrik yang mendukung langkah dekarbonisasi seperti pembangkit listrik tenaga gas dan uap (PLTGU) hingga pembangkit listrik energi baru dan terbarukan (EBT).
“RUPTL adalah rencana yang akan dilaksanakan. Jika benar-benar perlu diubah, kami akan mengusulkan untuk mengubahnya,” ujar Sinthya di Teater Djakarta, Sabtu (24/6).
Sinthya mengatakan opsi peninjauan RUPTL bertujuan untuk menyesuaikan rencana penyediaan listrik agar lebih hijau. Rencana tersebut sekaligus mempercepat target bauran EBT sebesar 23% pada 2025.
Menurut Sinthya, PLN telah mengajukan ratusan proyek dari berbagai sektor untuk mencapai target tersebut. Beberapa di antaranya adalah pembaharuan genset, transmisi dan agenda utama pensiun dini pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) dalam rencana investasi JETP.
Namun, dia tidak menyebutkan proyek mana yang akan diprioritaskan PLN untuk mendapatkan dana iklim JETP senilai US$ 20 miliar atau sekitar Rp 310 triliun. “Belum ada proyek yang segera diakomodir, rencana investasinya belum dibuat,” kata Sinthya.
RUPTL 2021-2030 diklaim sebagai rencana penyediaan listrik paling ramah lingkungan. Pada rencana ini, porsi pembangkit EBT sebesar 51,6%, lebih tinggi dari RUPTL 2019-2028 sebesar 30%.
Anggota Komisi VII DPR, Mercy Christy Barends mengatakan, bauran EBT di sistem pembangkitan domestik sejauh ini baru mencapai 14,7%. Artinya masih ada selisih sekitar 7% sampai 8% berbanding 23% di tahun 2025.
“Sisa tahun ini kita harus kerja keras. Masuk akal nggak? Perlu ada kerja sama, dan sejauh ini pemerintah masih on the right track,” ujar Mercy di lokasi yang sama.
Mercy yang juga Ketua Kaukus Ekonomi Hijau DPR itu juga mengatakan, mayoritas sumber listrik dalam negeri masih dihasilkan melalui pembakaran batu bara di PLTU dengan persentase 62%. Penggunaan pembangkit energi fosil di dalam negeri akan melonjak menjadi sekitar 85% jika menghitung penggunaan pembangkit listrik tenaga diesel.
Ia mengatakan, penyusunan regulasi terkait regulasi energi hijau di internal parlemen masih sulit. Awalnya, peraturan tentang RUU energi bersih ini disebut RUU Energi Terbarukan.
Rancangan tersebut diubah menjadi RUU Energi Baru Terbarukan dan perubahan terakhir menjadi RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan. Menurutnya, tantangan pembahasan RUU kali ini adalah rezim fosil di DPR RI masih sangat kuat.