Pertamina menciptakan bisnis jangka panjang yang berorientasi pada penyediaan energi bersih di sektor transportasi dan mengembangkan ekosistem kendaraan listrik. Melalui anak usahanya, PT Pertamina Power and Renewable Energy (NRE), pihaknya menjajaki bisnis perdagangan karbon melalui pemanfaatan hutan tropis melalui pengembangan proyek solusi berbasis alam (NBS).
Direktur Utama PT Pertamina EBT Dannif Danusaputro menyatakan Pertamina akan terus berkiprah di bisnis penyediaan energi untuk kendaraan angkut. Namun, perlahan-lahan beralih dari sumber energi minyak dan gas alam menuju energi hidrogen hijau dan hidrogen biru.
“Untuk bisnis EBT, kami akan lebih banyak di sektor transportasi dan industri. Pasalnya, produk kami banyak digunakan untuk transportasi dengan hasil akhir BBM yang banyak,” ujar Dannif dalam webinar, Kamis (22/12). ).
Kemudian, bisnis pengadaan energi hidrogen akan disalurkan ke sektor transportasi truk pickup penerbangan, maritim, dan niaga yang cukup sulit menggunakan baterai sebagai sumber energi. “Kami akan mempromosikan ini untuk hidrogen,” kata Dannif.
Selain sektor transportasi, Pertamina EBT juga akan membidik bisnis distribusi energi bersih ke industri semen dan pabrik baja yang saat ini masih menggunakan energi batu bara dan minyak bumi untuk operasi pengolahannya. “Kami melihat hidrogen sebagai sumber energi masa depan yang merupakan alternatif yang dapat menggantikan energi fosil untuk sektor-sektor yang sulit didekarbonisasi,” ujar Dannif.
BUMN energi itu berupaya mencapai target 19% pangsa energi gas dan 17% EBT dalam bauran energinya pada 2030. Pertamina juga menyiapkan belanja modal (capex) sebesar US$ 11 miliar atau Rp 170,9 triliun (kurs ). tarif Rp 15.200) untuk pengembangan bisnis di bidang EBT, panas bumi, gas, bioenergi, perdagangan karbon dan perluasan bisnis baterai dan kendaraan listrik.
Sebelumnya, Pertamina sedang menjajaki pembentukan konsorsium dengan beberapa perusahaan asing untuk pengembangan green hydrogen dan green ammonia yang diperoleh dari sumber wilayah kerja panas bumi (WKP) di wilayah Sumatera.
Direktur Perencanaan Strategis dan Pengembangan Bisnis PT Pertamina Power Indonesia (PPI), Fadli Rahman, mengatakan perseroan sedang menjajaki kerja sama dengan perusahaan migas asal Amerika Serikat, Chevron dan perusahaan energi asal Singapura, Keppel Corporation.
“Pertamina sudah memulai pembahasan sejak akhir tahun lalu, jadi tahun ini kita sudah mulai konkrit untuk kajiannya,” ujar Fadli saat ditemui di Kantor Kementerian BUMN, Selasa (8/11).
Selain itu, Pertamina juga sepakat untuk melakukan studi bersama pengembangan hidrogen hijau dan hidrogen biru dengan Krakatau Steel dan IGNIS Energy Holdings.
Pertamina juga menyepakati perjanjian studi bersama untuk pengembangan green hydrogen dan green ammonia dengan Tokyo Electric Power Company (TEPCO). Mitsubishi Corporation juga disebut telah bekerja sama dengan Pertamina dalam pengembangan hidrogen dan amonia.
Dengan beberapa proyek kerjasama tersebut, Pertamina berharap dapat memasok kebutuhan 2 juta ton green hydrogen dan green ammonia pada tahun 2030.
Meski begitu, Fadli masih belum mengetahui total nilai investasi yang dikeluarkan masing-masing perusahaan. “Investasinya belum ada yang tahu, karena ini sebenarnya masih tahap awal, jadi kita masih harus melihat sejauh mana potensinya. Tapi yang utama Pertamina ingin memberikan kontribusi sebesar 2 juta ton pada tahun 2030,” kata Fadli.