Traction Energy Asia mendorong PT Pertamina mengambil peran penting dalam konversi minyak jelantah (UCO) menjadi biodiesel. Pertamina diharapkan menjadi offtaker atau pengumpul minyak goreng bekas produksi masyarakat.
Hal ini dianggap sebagai langkah alternatif untuk menciptakan rantai pasok dan bisnis yang belum terbentuk dalam ekosistem pemanfaatan minyak jelantah sebagai bahan baku bahan bakar minyak (BBM).
Peneliti Traction Energy Asia, Refina Muthia menjelaskan, pemerintah belum memaksimalkan potensi minyak jelantah menjadi campuran biofuel atau biodiesel karena belum ada lembaga resmi yang diberi mandat untuk mengumpulkan minyak jelantah dari masyarakat.
Untuk menjawab tantangan ini, Traction Energy Asia mempromosikan model pengumpulan minyak jelantah melalui intervensi regulasi.
“Intervensi regulasi ini mendorong Pertamina menjadi offtaker dalam rantai niaga minyak jelantah untuk memproduksi biodiesel,” kata Refina dalam diskusi daring bertajuk “Inovasi Transisi Energi dengan Minyak Jelantah” pada Selasa (28/3).
Refina menjelaskan, SPBU Pertamina dapat berfungsi sebagai tempat pengumpulan minyak jelantah. SPBU bisa menjadi lokasi terakhir pengepul setelah mereka mendapatkan minyak jelantah dari rumah tangga atau unit usaha mikro lainnya.
Ajakan Pertamina untuk berpartisipasi dinilai tepat karena BUMN migas tersebut juga berkontribusi dalam produksi Hydrotreated Vegetable Oil (HVO). Produk utama HVO bisa disebut sebagai green diesel atau D100 yang merupakan campuran dari produksi Biodiesel B30.
“Minyak jelantah akan dikumpulkan di SPBU terdekat milik Pertamina untuk diangkut dan diproses lebih lanjut di fasilitas pengolahan Pertamina,” kata Refina.
Namun, ada beberapa tantangan lebih lanjut karena tidak semua SPBU Pertamina dimiliki oleh Pertamina. Sehingga perlu adanya mekanisme kompensasi untuk mengontrol dan mengawasi rantai niaga minyak jelantah di SPBU Pertamina milik pihak swasta.
“Kalau tidak ada insentif yang kuat bagi masyarakat dan pengusaha, pengumpulan minyak jelantah akan sulit dilaksanakan,” kata Refina.
Hasil kajian Traction Energy Asia menyebutkan potensi ketersediaan minyak jelantah dari rumah tangga dan unit usaha mikro skala nasional sebesar 1,2 juta kiloliter (KL). Angka ini bisa mencapai 8%-10% dari kebutuhan biodiesel setiap tahunnya.
Daerah penghasil minyak jelantah terbanyak setiap tahunnya adalah dari wilayah Jabodetabek sebanyak 154.763 KL, Bandung sebanyak 25.748 KL, Surabaya sebanyak 13.958 KL, dan Bali sebanyak 4.458 KL.
Perolehan satu jenis biodiesel dengan campuran minyak sawit dan minyak jelantah dapat menurunkan emisi sebesar 2,2% hingga 24% dari total penurunan emisi di sektor energi. Hasil ini dihitung dari asumsi persentase biodiesel minyak jelantah meningkat 10-30% dalam produksi B30.
“Kami juga mendorong intervensi regulasi agar harga minyak jelantah dikendalikan pemerintah agar tidak tinggi, karena sekarang banyak pengepul yang mengekspor ke luar negeri sehingga harga pasar tinggi,” kata Refina.
Sebelumnya, pemerintah kesulitan memaksimalkan potensi minyak jelantah untuk campuran biofuel atau biodiesel karena rantai pasok dan bisnisnya belum terbentuk. Terutama melibatkan masyarakat.
Direktur Jenderal Energi Baru dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, seluruh campuran biodiesel B30 dan B40 yang dikembangkan pemerintah masih menggunakan minyak sawit baru.
“Saat ini belum ada campuran minyak jelantah menjadi biodiesel karena sulit terkumpul. Minyak jelantah mayoritas berasal dari restoran dan hotel. Jaringan usaha belum terbentuk,” ujar Dadan di Kementerian ESDM Kantor Sumber Daya Kamis (11/8/2022 ).
Peran Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dalam proyek biodiesel berada di sektor hilir, yang terkait dengan penelitian dan pengolahan bahan baku menjadi barang siap pakai. Dadan mengatakan campuran biodiesel tidak harus berasal dari minyak sawit baru.
“Minyaknya mau yang mana, yang penting speknya dicantumkan, saya enggak lihat minyak gorengnya baru atau bekas. Tapi sekarang insentifnya dari sawit, jadi bahan bakunya harus dari kelapa sawit,” kata Dadan.
Dadan menilai minyak jelantah memiliki potensi besar untuk dijadikan biofuel. Namun karena rantai bisnisnya belum terbentuk, sebagian besar minyak jelantah dijual ke luar negeri.
Menurut catatan Kementerian ESDM, penggunaan biodiesel dari minyak jelantah terbuka lebar karena konsumsi minyak goreng rumah tangga pada 2019 mencapai 13 juta ton per tahun atau setara 16,2 juta KL berpotensi untuk digunakan. minyak goreng 3 juta KL per tahun.
“Minyak goreng katanya potensial. Saya dengar minyak goreng bekas dijual di luar negeri karena harganya lumayan,” kata Dadan.