liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
bosswin168
bosswin168 login
bosswin168 login
bosswin168 rtp
bosswin168 login
bosswin168 link alternatif
boswin168
bocoran rtp bosswin168
bocoran rtp bosswin168
slot online bosswin168
slot bosswin168
bosswin168 slot online
bosswin168
bosswin168 slot viral online
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
lotus138
bosswin168
bosswin168
maxwin138
master38
master38
master38
mabar69
mabar69
mabar69
mabar69
master38
ronin86
ronin86
ronin86
cocol77
cocol77
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
cocol77
ronin86
cocol77
cocol77
cocol77
maxwin138
Peran OJK Dinilai Terlalu Dominan dalam Pasar Karbon di RUU PPSK

Center for Economic and Legal Studies (CELIOS) menyoroti peran Dewan Jasa Keuangan atau OJK yang dinilai terlalu dominan dalam mekanisme pasar dan perdagangan karbon sebagaimana tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK).

Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, menegaskan Pasal 5A ayat 9 yang menyebutkan bahwa OJK berwenang mengatur perdagangan sekunder Sertifikat Izin Emisi dan Sertifikat Penurunan Emisi pada pertukaran karbon.

Selain itu, dia juga merujuk pada Pasal 26 yang menyebutkan ketentuan lebih lanjut terkait pasar karbon akan diatur melalui Peraturan OJK atau POJK.

“Daripada menekankan fungsi tunggal OJK, pengaturan desain infrastruktur pertukaran karbon hingga sistem pemantauan pasar karbon harus diawasi oleh regulator terkait seperti Bappebti,” kata Bhima dalam diskusi publik bertajuk ‘Menelisik Peluang Kerjasama Pasar Karbon di Indonesia’ RUU PPSK’ di Jakarta, Selasa (22/2019). 11).

Menurutnya, Bappebti harus dilibatkan sebagai pengatur utama pasar karbon, karena karbon secara umum diartikan sebagai komoditas bukan dampak. “Sementara ruang regulasi OJK lebih tepat mengenai produk pembiayaan daripada pendapatan perdagangan karbon, sesuai fungsi jasa keuangan,” imbuhnya.

Pernyataan Bhima berangkat dari praktik penerapan kredit atau pertukaran karbon di beberapa negara yang melihat karbon sebagai komoditas, bukan dampak. Menurutnya, jika carbon exchange berada di bawah OJK, maka carbon exchange tidak bisa lagi diartikan sebagai komoditas melainkan efek sehingga konsekuensinya juga berbeda.

Lanjutnya, mayoritas negara menempatkan kredit karbon sebagai komoditas tidak berwujud yang diperdagangkan melalui skema perdagangan kredit karbon atau Emission Trading Scheme (ETS).

Masih menurut Bhima, peluang kerjasama antara Bappebti dan OJK dapat berupa skema pembiayaan lembaga keuangan, dimana Bappebti bertanggung jawab untuk mengatur perdagangan komoditas karbon, sedangkan OJK akan memfasilitasi perusahaan yang terlibat dalam perdagangan karbon dengan pembiayaan lembaga keuangan.

Dia mencontohkan, perusahaan yang memiliki sertifikat penurunan emisi bisa menjaminkan sertifikatnya di perbankan. Komoditas karbon sebagai agunan akan memungkinkan perusahaan yang berkomitmen terhadap lingkungan memperoleh lebih banyak peluang pembiayaan baru.

“Hal ini juga dengan mempertimbangkan adanya beberapa pemain yang sudah ada yang sudah tercakup dalam Bappebti, mereka memiliki pengalaman dalam menciptakan infrastruktur bursa, sehingga dirasa tidak perlu menyediakan infrastruktur baru yang menjadi kewenangan OJK,” katanya. .

Penyusunan infrastruktur baru atas perintah OJK dapat menimbulkan kekhawatiran karena masa tunggu yang lama. Situasi ini akan membuat pertukaran karbon asing lebih menarik. Padahal Indonesia memiliki potensi karbon yang luar biasa. kata Bima.

Pada forum yang sama, Kepala Biro Perdagangan Berjangka Komoditi Bappebti, Tirta Karma Sejaya mengatakan, RUU P2SK masih belum mengatur secara jelas detail pekerjaan masing-masing OJK dan Bappebti terkait dengan pelaksanaan pasar karbon.

Menurutnya, penjelasan wilayah kerja kedua lembaga tersebut akan diatur dalam peraturan yang diterbitkan setelah RUU P2SK disahkan menjadi undang-undang.

“Belum jelas. Sebenarnya RUU PS2K itu undang-undang terkait efek, dan efek tidak bisa memperdagangkan komoditas, tapi dengan UU PS2K, secara definisi efek tersebut bisa memperdagangkan komoditas melalui perdagangan alternatif. regulator,” kata Tirta.

Sementara itu, Pemerintah Indonesia bertekad untuk menurunkan emisi karbon sebesar 29% melalui upaya sendiri dan 41% dengan bantuan internasional pada tahun 2030. Sementara itu, kebutuhan kumulatif mitigasi perubahan iklim selama 2020-2030 mencapai Rp 3.779 triliun atau Rp 343,6 triliun per tahun.

Tidak mungkin menutupi sepenuhnya angka ini dengan anggaran negara. Kehadiran pasar karbon diharapkan dapat menjadi solusi untuk menutupi kebutuhan pembiayaan yang besar dari para pelaku usaha.