Pemerintah dan Dewan Jasa Keuangan sedang mempersiapkan mekanisme pasar karbon sebagai bagian dari upaya pencapaian target nol emisi karbon pada tahun 2060. Ketua B20 Perdagangan dan Investasi Indonesia Arif Rachmad menilai pelaksanaan pasar karbon memerlukan kerja sama atau kesatuan antar negara yang saat ini pada tingkat perkembangan yang berbeda. berbeda
“Dunia membutuhkan sistem perdagangan karbon global yang efektif, aman, dan adil, terutama bagi negara-negara kurang berkembang dan berkembang,” kata Arif dalam webinar bertajuk Organized Voluntary Carbon Marketplace to Tackle the Global Climate Crisis, Rabu (25/5).
Arif menjelaskan, karbon dalam ekosistem pasar karbon sukarela diklasifikasikan sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan dengan mekanisme penetapan harga yang disepakati dan transparan. Pasar karbon diharapkan efektif dalam mengurangi emisi.
Penasihat Khusus CDP, dan Anggota, Badan Penasihat Kehormatan Dewan Integritas untuk Pasar Karbon Sukarela Paula DiPerna memberikan contoh penerapan pasar karbon sukarela pertama di dunia, Chicago Climate Exchange. Pasar karbon yang diterapkan di Amerika Serikat mengatur perdagangan gas rumah kaca sebagai bagian dari upaya transisi energi di Amerika Utara dan Brasil.
Menurut Paula, kehadiran pasar karbon sukarela dapat membantu beberapa negara penghasil emisi untuk mencapai Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional (NDC) mereka sendiri. “Ini sebagai bentuk komitmen masing-masing negara terhadap Perjanjian Paris,” kata Paula.
Indonesia telah membentuk Nationally Defined Contribution (NDC) yaitu menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 41% pada tahun 2030. Presiden Joko Widodo bahkan telah menyampaikan komitmen Indonesia untuk mencapai nol emisi karbon pada tahun 2060. Jokowi juga telah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon.
Sebagai langkah awal membangun pasar karbon, pemerintah akan memberlakukan pajak karbon secara bertahap mulai 1 Juli. Pajak karbon pertama akan diterapkan pada pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) dengan tarif Rp30.000 atau sekitar US$2,09 per ton emisi setara karbon dioksida (tCO2e).
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan ada komplikasi dari rencana pengenaan pajak karbon. Saat ini, pajak karbon yang dikenakan bervariasi dari satu negara ke negara lain. Hal ini berpotensi menimbulkan kebocoran yang ingin dihindari oleh pemerintah.
“Ada negara yang mematok harga US$ 3, US$ 25, bahkan US$ 40. Harga yang berbeda akan membuka kemungkinan terjadinya kebocoran. Jadi rezim dan kebijakan pasar karbon cukup rumit,” kata Sri Mulyani di acara tersebut. Forum Hukum PPATK ke-3 di Jakarta, Kamis (31/3).