Kementerian ESDM mendorong percepatan pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) dengan membentuk Tim Persiapan Pembentukan Organisasi Pelaksana Program Tenaga Nuklir atau NEPIO. Tim tersebut akan bertugas mengkaji potensi kawasan untuk pendirian PLTN, kesiapan infrastruktur hingga regulasi untuk pengembangan PLTN di dalam negeri.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Herman Darnel Ibrahim mengatakan, pembentukan Tim Persiapan merupakan tahap 1 dari rangkaian tahapan yang perlu dilalui dalam upaya pengembangan PLTN. Setelah membentuk Tim Persiapan, langkah selanjutnya adalah mengkaji potensi pengembangan PLTN. “Penentuan berapa gigawatt (GW) yang akan dibangun akan ditentukan saat fase 1 selesai,” kata Herman dalam Energy Corner CNBC, Senin (31/10).
Herman mencatat, pembangunan PLTN di Indonesia kemungkinan berada di luar Pulau Jawa dan berskala kecil. Produksi tenaga listrik akan menyesuaikan dengan kebutuhan listrik di daerah tertentu. “Di Jawa belum ada calon lokasi karena akan sangat rumit untuk memilih lokasi. Jadi kalau untuk skala kecil di luar Jawa, kapasitasnya berarti dikoordinasikan dengan kelistrikan di daerah itu,” ujar Herman.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) periode 2012-2018, Djarot Sulistio Wisnubroto mengatakan, persiapan pembangunan PLTN tahap pertama sudah dimulai sejak 2009 dan sedang dipelajari oleh Badan Energi Atom Internasional. Badan (IAEI).
Meski sudah sampai tahap review oleh IAEI, Dradot mengatakan pemerintah harus lebih serius mengembangkan energi nuklir sebagai pembangkit listrik tenaga nuklir. “Tidak ada kata ‘go nuklir’ dari pemerintah, otomatis tidak ada manajemen, artinya tidak ada NEPIO, dan tidak ada keterlibatan stakeholder. Ini PR,” ujar Djarot.
Djarot optimis dalam 40 tahun ke depan, Indonesia mampu melangkah lebih jauh dalam upaya pengembangan nuklirnya dengan mempercepat kemajuan teknologi. Di sisi lain, Djarot mengatakan pengembangan energi nuklir sebagai sumber energi berupa pembangkit listrik tenaga nuklir membutuhkan dana besar hingga US$ 12,65 miliar.
Angka tersebut merujuk pada proyek bersama pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir di Bangladesh dengan Rusia berkapasitas 2.400 mega watt (MW). Untuk mendapatkan dana sebesar itu, Pemerintah Indonesia diminta menjalin kerjasama pembiayaan melalui skema Government to Government atau G to G. Djarot.
Sebelumnya, Director of Operations Thorcon Power Indonesia, Bon Effendy, mengatakan sejak 2020, melalui persetujuan Kementerian ESDM, pihaknya telah melakukan enam studi kelayakan untuk pengembangan lokasi PLTN. Padahal, kajian pembangunan Molten Salt Reactor atau MSR ditargetkan selesai pada akhir Oktober tahun ini.
MSR adalah jenis pembangkit listrik tenaga nuklir generasi ke-4 yang didinginkan oleh lelehan garam yang beroperasi pada suhu dan tekanan tinggi mendekati tekanan atmosfer.
“Insyaallah Oktober ini selesai. Kami berharap setelah selesai bisa kami jadikan bahan pertimbangan bagi pemerintah agar proyek ini menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN) karena nilainya cukup besar. Letaknya di Pulau Khasa, 32 kilometer dari Pulau Bangka Belitung,” kata Bob. . Jumat (23/10).
Lebih lanjut, kata Bob, pihaknya kini bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk mengembangkan produksi bahan bakar PLTN dengan bahan baku utama Thorium. Kerja sama ini merupakan tahap awal berupa pendirian laboratorium yang akan selesai pada akhir tahun ini.
“Bahan bakarnya akan diproduksi di Indonesia. Kami bekerja sama dengan ITB untuk membangun laboratorium bahan bakar. Kedepannya akan dibangun pabrik bahan bakar dengan menggunakan Thorium yang melimpah di Indonesia untuk mencapai kemerdekaan,” kata Bob.