liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
liveslot168
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
Cocol88
bosswin168
bosswin168 login
bosswin168 login
bosswin168 rtp
bosswin168 login
bosswin168 link alternatif
boswin168
bocoran rtp bosswin168
bocoran rtp bosswin168
slot online bosswin168
slot bosswin168
bosswin168 slot online
bosswin168
bosswin168 slot viral online
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
cocol88
lotus138
bosswin168
bosswin168
maxwin138
master38
master38
master38
mabar69
mabar69
mabar69
mabar69
master38
ronin86
ronin86
ronin86
cocol77
cocol77
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
ronin86
cocol77
ronin86
cocol77
cocol77
cocol77
maxwin138
Ormas Sipil Kritik Kebijakan Transisi Energi dalam RUU EBET

Organisasi masyarakat sipil mengkritisi kebijakan transisi energi pemerintah dalam RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET).

Asian Trends Renewable Energy Campaign, Beyrra Triasdian, mengatakan RUU EBET memuat klasifikasi ‘energi baru’ yang berasal dari energi fosil. Ini misalnya teknologi gasifikasi batubara dan pencairan batubara. Selain itu, ada pula energi nuklir yang juga dikategorikan sebagai energi baru.

Beyrra mengatakan energi baru dari batu bara dan turunan nuklir bukanlah sumber energi yang harus dipromosikan. Selain berisiko tinggi terhadap lingkungan, menurutnya sumber energi ini juga akan membebani negara.

Selain mengkritisi produk batu bara, Beyrra juga menegaskan potensi deforestasi terkait penggunaan biomassa yang akan digunakan sebagai co-firing dengan PLTU.

“Pembahasan energi baru dan beberapa jenis energi terbarukan tidak relevan dalam RUU EBET ini. Pemerintah dan DPR harus fokus pada bahan energi terbarukan yang mendukung pengurangan emisi karbon, bukan sebaliknya,” ujar Beyrra, dalam keterangan resmi, Senin (6/2).

Manajer Program Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR), Deon Arinaldo mengatakan, masuknya energi baru justru akan membuat Indonesia terjebak dengan infrastruktur energi fosil.

Dia memperkirakan pengembangan pembangkit listrik dari gasifikasi batu bara akan menghasilkan emisi CO2 dua kali lipat dibandingkan pembangkit listrik dari gas alam. Selain polusi udara, pengembangan energi baru mempengaruhi kualitas air.

“Materi RUU EBET belum menjawab isu mendesak transisi energi,” ujar Grita Anindarini, Wakil Direktur ICEL.

Dalam RUU EBET, selain batu bara, ada nuklir yang akan dikembangkan sebagai energi baru Indonesia. Mengacu pada Laporan Status Industri Nuklir Dunia (WNISR) 2019, biaya investasi pembangkit listrik tenaga nuklir hingga lima kali lipat lebih mahal dibandingkan investasi untuk tenaga angin dan surya.

Tak hanya itu, RUU EBET juga mengatur hidrogen sebagai bagian dari energi baru. Namun RUU ini tidak menjelaskan secara rinci sumber hidrogen yang akan menjadi fokus pembangunan. Pada dasarnya hidrogen dapat berasal dari sumber energi fosil (hidrogen abu-abu) atau sumber energi terbarukan (hidrogen hijau).

Grita mengatakan penelitian saat ini menunjukkan hanya satu persen hidrogen hijau yang dikembangkan di seluruh dunia, sisanya masih dari bahan bakar fosil.

“Kita perlu pengaturan yang jelas dalam RUU ini jenis hidrogen yang akan kita kembangkan agar tidak tersesat. Sayangnya, RUU EBET gagal mengatasi hal ini,” kata Grita.