Volume perdagangan karbon di China berhasil melewati 1 miliar yuan atau sekitar Rp 2,2 triliun sejak diluncurkan pada pertengahan Juli 2021 atau hanya sekitar empat bulan. Perdagangan karbon di Negeri Panda dilakukan dengan skema perdagangan emisi karbon (ETS).
Kementerian Ekologi dan Lingkungan China menjelaskan bahwa skema perdagangan karbon berjalan lancar dan teratur. Jumlah karbon yang diperdagangkan terus meningkat seiring dengan mendekatnya tenggat waktu untuk kontrol emisi pertama.
“Sejak ETS diterapkan pada 16 Juli, volume perdagangan kumulatif telah mencapai 1,044 miliar yuan,” kata Kementerian Ekologi dan Lingkungan China melalui akun resmi WeChat pada Jumat (12/11), seperti dikutip dari Reuters.
ETS adalah bagian dari rencana China untuk menggunakan “mekanisme pasar” untuk mencapai puncak emisi karbonnya pada tahun 2030 sejalan dengan target emisi karbon nol bersih yang dijanjikan Presiden Xi Jingping pada tahun 2060.
Pada tahun 2030, China akan mengurangi emisi karbonnya sebesar 65% dari level tahun 2005. Selain mekanisme perdagangan karbon, China juga akan meningkatkan kapasitas terpasang pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT), terutama angin dan surya, menjadi lebih . sebesar 1.200 gigawatt (GW).
Kemudian pangsa bahan bakar nonfosil dalam konsumsi energi primer akan mencapai 25% pada tahun 2030. Namun angka tersebut naik dari komitmen sebelumnya yang hanya 20%.
Pada tahun 2019 China memasang energi surya (PLTS) dan angin (PLTB) sebesar 414 GW, kemudian pada tahun 2020 kapasitasnya ditargetkan meningkat sebesar 240 GW. “Target ini menunjukkan niat baik China,” kata penasihat iklim Greenpeace Li Shuo.
Namun, Greenpeace memperkirakan China dapat menurunkan target emisinya hingga 70-75% pada tahun 2030 yang dianggap sejalan dengan tanggung jawab negara tersebut sebagai penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia.
Upaya China lainnya untuk mengurangi emisi karbon adalah dengan menghentikan dukungan pendanaan untuk proyek terkait batu bara di luar negeri, khususnya di Asia.
Menurut laporan Global Energy Monitor (GEM), hal ini membuat 66% proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Asia yang telah direncanakan atau sedang direncanakan, sedang dalam tahap pra konstruksi atau belum ditutup secara finansial, dibatalkan. .