PT Bukit Asam atau PTBA memiliki beberapa gerakan untuk menyambut era transisi energi di Indonesia. Perusahaan tambang milik negara itu menjajaki sejumlah pengembangan proyek energi baru dan terbarukan (EBT), mulai dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) hingga gasifikasi batu bara.
Sebagai perusahaan yang bergerak di industri energi batubara-fosil, gerakan ini dinilai penting untuk mempertahankan eksistensi bisnis perusahaan di masa transisi energi, khususnya pada sektor usaha perdagangan dan penyediaan energi.
Vice President Pengembangan Hilir PTBA Setiadi Wicaksono mengatakan perseroan kini bergerak dalam bisnis penyediaan energi baru dan terbarukan melalui pemasangan PLTS dan pengembangan industri gasifikasi batubara menjadi Dimethyl Ether atau DME di Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. .
Setiadi mengatakan proyek DME diproyeksikan sebagai alternatif pengadaan bahan bakar gas cair (LPG). Proyek tersebut akan menggunakan 6 juta ton batu bara kalori rendah 4.200 per tahun untuk diolah menjadi DME.
Mengolah 6 juta ton batu bara dapat menghasilkan 1,4 juta ton DME. Selain itu, pabrik tersebut juga akan memproduksi 2,1 juta ton metanol per tahun dan syngas atau gas sintetis sebesar 4,5 juta kN/m3 per tahun.
“Kami berharap perolehan DME dapat mengurangi subsidi atau impor LPG oleh pemerintah yang cukup besar,” ujar Setiadi dalam acara bertajuk ‘Energy & Mining Editor Society Outlook Sektor ESDM 2023’ pada Selasa (13/12). ).
Langkah perseroan untuk memperluas bisnisnya merupakan salah satu sikap perseroan dalam menyikapi proyeksi penurunan permintaan batu bara yang akan menurun di tahun-tahun mendatang.
Sejauh ini PTBA aktif mengembangkan bisnis EBT berupa aplikasi PLTS di sejumlah lahan pascatambang yang berlokasi di Ombilin, Sumatera Barat berkapasitas 200 mega watt (MW) berdiri di atas lahan seluas 224 hektar. .
Kemudian ada PLTS pascatambang di Tanjung Enim, Sumatera Selatan berkapasitas 200 MW yang dibangun di atas lahan seluas 201 hektar dan PLTS pascatambang di Bantuas, Kalimantan Timur berkapasitas 30 MW. PLTS tersebut didirikan di lahan seluas 30 hektare bekas tambang.
“Potensinya sekitar 430 MW, ada tahap studi kelayakan dan tentunya perlu diajukan ke PLN. Mudah-mudahan diterima dengan baik,” kata Setiadi.
Selain membangun PLTS di area bekas tambang, PTBA juga mendirikan PLTS di fasilitas umum melalui kerjasama antar institusi seperti pengadaan Atap PLTS Bandara Soekarno Hatta dengan PT Angkasa Pura 2 dan pengadaan PLTS Tol Bali Mandara dengan PT Jasa Marga .
Lebih lanjut, kata Setiadi, perseroan juga akan mengajukan proposal bisnis untuk mendapatkan kawasan industri terpadu untuk bisnis berbasis kimia di Tanjung Enim yang disebut ‘Kawasan Industri Berbasis Batubara Bukit Asam’.
“Kita juga sedang membangun pusat industri hilir dan berbasis energi di Tanjung Enim. Harapannya kita mendapatkan kawasan ekonomi khusus sehingga ada insentif yang diberikan pemerintah kepada investor yang berinvestasi di sana,” ujar Setiadi.
Optimalisasi bisnis yang ada
Meski mulai beradaptasi dengan isu transisi energi, PTBA terus mengoptimalkan operasional yang ada dengan meningkatkan daya logistik dan mengoptimalkan transportasi batubara. Pasalnya, perseroan masih memiliki cadangan batu bara sebesar 3 miliar ton dengan tingkat produksi 35 juta ton per tahun.
Optimalisasi angkutan batu bara yang baru dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas angkutan batu bara yang semula 32 juta ton per tahun menjadi 72 juta ton per tahun pada 2027. Hal ini dilakukan untuk memaksimalkan eksploitasi batu bara sebelum menuju net zero emission dengan 2060.
“Kami menggunakan moda angkut KAI dengan kapasitas angkut 32 juta ton per tahun. Batubara yang diproduksi di Tanjung Enim untuk mendukung domestik dan ekspor,” ujarnya. “Ini memiliki banyak cadangan batu bara dan sebagai badan usaha milik negara, jangan menyia-nyiakan sumber daya ini hanya dengan membuangnya ke tanah.”
Untuk mengoptimalkan cadangan batu bara, PTBA akan segera mengoperasikan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Sumsel-8 atau PLTU Tanjung Lalang di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan.
PLTU Tanjung Lalang berkapasitas 2×620 megawatt (MW) membutuhkan pasokan batu bara sebanyak 5,4 juta ton per tahun dengan nilai proyek US$ 1,68 miliar atau sekitar Rp 24 triliun.
PLTU ini merupakan bagian dari proyek 35.000 MW yang dibangun PTBA melalui PT Huadian Bukit Asam Power (HBAP) sebagai Independent Power Producer atau IPP yang merupakan perusahaan konsorsium dengan China Huardian Company Limited.
HBAP memperoleh fasilitas pinjaman dari China Export Import (CEXIM) Bank senilai US$ 1,26 miliar atau sekitar Rp 17 triliun. Pembiayaan yang diberikan CEXIM untuk proyek PLTU Sumsel-8 merupakan bentuk kerja sama antara Indonesia dan China.
Nilai pinjaman CEXIM mencapai 75% dari kebutuhan pembiayaan proyek. Bukit Asam dan China Huadian akan memenuhi sisa 25% atau sekitar US$ 420 juta melalui suntikan modal.
HBAP dan PLN menandatangani Power Purchase Agreement (PPA) pada tahun 2014 namun diubah pada tanggal 19 Oktober 2017. Perubahan alokasi listrik yang dihasilkan PLTU yang semula untuk memenuhi kebutuhan listrik Pulau Jawa atau Java Grid dialihkan menjadi Sumatra. Pasalnya, kebutuhan listrik di Pulau Jawa sudah terpenuhi.
“Kami sudah coba integrasikan dengan PLTU Mulut Lombong Sumsel-8, saat ini sudah 97% selesai dan diharapkan bisa beroperasi komersial tahun depan,” kata Setiadi.