Laporan terbaru dari Institute for Essential Services Reform (IESR) menunjukkan bahwa harga pembangkit energi terbarukan semakin murah dan kompetitif. Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), misalnya, memiliki harga rata-rata terendah sebesar 4,1 sen/kWh.
Peneliti IESR, Muhamad Bintang mengatakan, harga PLTMH dan PLTS rata-rata sekitar 4,9 sen/kWd dan 5,8 sen per kWh. Namun perhitungan ini belum termasuk biaya penggunaan lahan dan biaya penyiapan proyek.
“Ada kemungkinan kenaikan harga rata-rata minimal 6% untuk PLTA skala menengah, dan 18% untuk PLTS skala utilitas,” ujarnya, Jumat (24/3).
Bintang mengatakan, saat ini iklim investasi untuk pengembangan pembangkit listrik energi terbarukan belum kondusif. Salah satunya dipicu oleh beberapa regulasi yang menaikkan biaya tinggi. Ini contoh untuk pembangunan PLTS skala utilitas, ada aturan TKDN yang mensyaratkan penggunaan komponen dalam negeri. Padahal, harga produk mereka masih lebih mahal dan kualitasnya lebih rendah dibandingkan komponen impor.
Namun demikian, tren penurunan harga teknologi diperkirakan akan membuat pembangkit energi terbarukan lebih kompetitif dalam waktu dekat. Proyeksi harga rata-rata PLTS skala utilitas pada tahun 2050 akan mencapai 3 sen/kWh atau lebih rendah, jauh lebih murah dari biaya operasional PLTU batubara yang ada saat ini.
Bintang mengatakan, selama ini pembangkit energi terbarukan ini terabaikan oleh pembangkit listrik berbahan bakar batu bara. Ada pandangan bahwa batu bara adalah sumber energi termurah. Padahal, yang sebenarnya terjadi harga listrik PLTU batu bara murah karena didukung kebijakan DMO dan subsidi lainnya mulai 2018.
“Energi terbarukan tidak mendapat dukungan, malah harganya selalu diminta bersaing dengan listrik dari PLTU dan PLTG yang mendapat subsidi pemerintah,” ujar Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.
Sementara itu, pemerintah saat ini berencana menerapkan teknologi carbon capture storage (CCS) pada pembangkit listrik tenaga batu bara untuk mengurangi emisi. Namun, menurut Manajer Transformasi Energi IESR Deon Arinaldo, hal itu justru akan menaikkan harga listrik pembangkit listrik berbahan bakar batu bara.
Deon mengatakan saat ini belum ada penerapan CCS di PLTU yang berhasil memenuhi target penurunan emisinya. Selain itu, dengan CCS harga listrik dari pembangkit listrik batu bara akan menjadi dua kali lipat atau lebih tinggi dari 10 sen/kWh.
“Inisiatif untuk menggunakan CCS di pembangkit listrik tenaga batu bara seharusnya tidak lagi menjadi pilihan,” kata Deon.
IESR meluncurkan laporan berjudul ‘Making the Energy Transition Successful: 2023 Update on Levelized Electricity Costs and Levelized Storage Costs in Indonesia’. Selain itu, IESR juga memperkenalkan alat simulasi berbasis web yang dapat diakses publik untuk memperkirakan biaya pembangkitan energi untuk setiap pembangkitan energi dan teknologi penyimpanan.