Perdagangan karbon di sektor ketenagalistrikan sudah dimulai di pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) tahun ini. Kementerian ESDM menargetkan perluasan perdagangan karbon ke semua jenis pembangkit listrik fosil pada tahun 2025.
Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jisman P. Hutajulu mengatakan target pengurangan emisi karbon dan gas rumah kaca dari sektor ketenagalistrikan adalah 155 juta ton setara CO2 (CO2e) pada 2030.
Khusus tahun ini, ada 99 PLTU berkapasitas di atas 100 megawatt (MW) dari total 42 perusahaan yang akan terlibat dalam pasar karbon dengan total kapasitas terpasang 33.569 MW.
“Berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM, kita mulai dari 99 PLTU dulu. Kemudian tahun 2024 kita tambah (PLTU) di atas 25 MW. Pada 2025 semua energi fosil akan masuk ke pasar karbon,” ujarnya di Energy Corner CNBC, Senin (13/3).
Pelaksanaan perdagangan karbon diatur melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen) Nomor 16 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penerapan Nilai Ekonomi Karbon Pada Subsektor Pembangkitan Energi yang ditetapkan oleh Menteri Energi dan Mineral Sumber pada akhir Desember. 2022.
Dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC), pemerintah bertujuan untuk mengurangi emisi karbon dan gas rumah kaca sebesar 358 juta ton CO2e (12,5%) dengan kapasitasnya sendiri atau 446 juta ton CO2e (15,5%) dengan bantuan internasional pada tahun 2030 di sektor energi.
Lebih khusus dari sektor ketenagalistrikan, target pengurangan emisi karbon dan gas rumah kaca ditetapkan sekitar 155 juta ton CO2e. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah telah menetapkan persetujuan teknis batas emisi untuk PLTU.
Untuk pembangkit listrik di atas 25MW hingga 100 MW, emisi tidak boleh melebihi 1.297 ton CO2e per MWh. Kemudian untuk pembangkit mulut tambang di atas 100 MW tidak boleh melebihi 1.089 ton CO2e per MWh.
PLTU non-mulut tambang di atas 100 MW sampai dengan 400 MW tidak boleh melebihi 1.011 ton CO2e, dan untuk PLTU non-mulut di atas 400 MW tidak boleh melebihi 0.911 ton CO2e.
“Untuk setiap pembangkit listrik, kami juga menerbitkan persetujuan teknis emisi kepada pelaku usaha. Kita sudah keluarkan 42 Kepmen untuk 99 PLTU dari 42 perusahaan, dari situ kita bisa tahu mana yang kelebihan emisi dan mana yang defisit. Selisih ini diperjualbelikan,” kata Jisman.
Untuk harga karbon, pemerintah belum menetapkan standar. Jadi harga yang digunakan adalah kesepakatan antara perusahaan pemilik PLTU dengan kisaran harga pasar di Indonesia antara US$2 hingga US$18 per ton.
“Kami berharap ke depan, di mana PLTU surplus dan defisit, bisa diperdagangkan sekitar 8 juta ton CO2. Mereka melakukan B to B dulu, pemerintah belum mengambil keputusan. Kami hanya mengatakan berdasarkan studi ada angka US$ 2-18 per ton untuk harga karbon,” ujarnya.